10 Juni 2014
Jatuh Cinta. Benar kata orang bilang “Ketika kita jatuh
cinta, maka kita harus siap jatuh dan mencinta. Berarti tak ada kata untuk
dicinta? Yang ada hanyalah mencinta”.
Pernyataan tersebut sangat mengena dalam pikiranku. Tiap hari aku hanya
bisa menghela nafas untuk menyesali apa yang pernah terjadi sepuluh tahun yang
lalu. Bukankah kejadian itu sudah lama sekali berlalu? Kenapa aku selalu
memikirkannya? Buat apa aku memikirkan seseorang yang tidak pernah peduli akan
keadaanku saat ini??!! Gerutuku dalam hati.
Sebenarnya aku tidak perlu menyesali kejadian tersebut, karena kejadian
tersebut membuatku mengerti akan rasa yang bernama cinta. Cinta itu memang
penuh makna, terkadang ada rasa yang membuatku tiba-tiba tersenyum sendiri,
tertawa bahkan menangis. Terkadang ada sebuah rasa yang membuat jantungku
seakan berhenti mendadak hingga aku tidak sadar apa yang sedang aku lakukan.
Rasa itu juga membuatku merasa bahwa, hanya DIA-lah satu-satunya laki-laki yang
bisa membuatku bahagia. “Kira, ingat donk kalau cinta itu bisa membuat kita
gila dan tutup mata dengan apa kata orang lain tentang laki-laki tersebut!”
Benar kata Rea, sahabatku sejak kecil.
Kenapa aku baru menyadarinya setelah semua itu telah terjadi?!! Aku
benar-benar membuat kesalahan yang selalu membekas dalam hati.
Sepuluh tahun telah berlalu, tapi malam ini pikiranku masih melayang
dengan kejadian yang pernah kualami dan kurasakan. Yaitu sebuah rasa yang
bernama cinta. Tak terasa airmata mulai membasahi wajahku, malam ini.
***
1
Sepuluh Tahun yang Lalu
“Akhirnya aku bisa menikmati hidup!! Kan kata Papa kalau aku sudah
kuliah, aku boleh pacaran. Yeah,” sorakku kegirangan, mungkin inilah kebebasan
yang bisa aku rasakan setelah sembilan tahun lamanya mengenyam pendidikan
formal atas perintah Mama dan Papa. Selama aku masih pakai seragam sekolah, aku
belum diijinkan untuk pacaran. Merasakan yang namanya cinta saja tidak pernah.
Apalagi pacaran. Pacarku yang paling setia selama ini yang buku pelajaran. Papa
menyuruhku untuk menjadi seorang diplomat yang handal bagi Indonesia tercinta.
Sekarang saatnya untuk mewujudkan keinginan Papa dan tentunya keinginanku untuk
merasakan jatuh cinta.
Aku terlalu banyak ketawa dan begitu girang, sepanjang melangkahkan
kakiku menuju ruang kelas, tak henti-hentinya aku menyenandungkan lagu
romantis. “i’m falling in love, falling
in love with you” aku menyanyikan lagu falling
in love-nya Melly Goeslow. Tanpa sadar, sepatuku menginjak seseorang yang
berdiri di depanku. “Maaf.. maaf aku gak sengaja,” lalu ku pandang orang yang
berdiri di depanku. “Maaf maaf, kamu ini kalau jalan gak pernah pakai mata ya!!
Kalau jalan itu liat ke depan!” gerutu seorang laki-laki yang berdiri di
hadapanku. Badannya tegap, sorot matanya sangat tajam dan alisnya tebal serta
badannya yang terlihat sangat atletis. Ia memang tipe laki-laki yang ideal
seperti yang digambarkan media. Satu hal sih yang aku gak suka dari laki-laki
ini, sikapnya sombong banget, matanya itu kayak mau makan orang saja.
“Hei.. kamu itu kayak gak punya rasa bersalah ya!” marahnya lagi padaku.
Aku pun menundukkan kepala dan dengan lirih berkata, “maaf”. Aku pun
melangkahkan kaki lagi sambil membungkuk dan tidak berani untuk menatap matanya
yang sadis.
“Sial!! Ini baru hari pertama aku kuliah dan harus bertemu dengan lelaki
yang sombong, menyebalkan dan sok!!” aku teruh mengeluh sepanjang hari ini.
“Ra, Kira!! Kamu kenapa sih kalau dari tadi cemberut aja! Kamu harusnya itu
tersenyum dan ceria, hari ini kan hari pertamamu untuk merasakan jatuh cinta.
Jadi, jangan jutek donk. Semua laki ntar pada kabur liat muka kamu yang monyong
gitu,” pinta Rea, sahabatku yang paling pengertian sedunia. Dengar kata-kata
Rea, raut wajahku dengan seketika langsung cerah ceria kembali. “Ya, benar kata
kamu, Re! Kan aku harus tampil cantik dan ceria biar semua laki-laki pada
ngelirik aku,”
Tiba-tiba mataku langsung menatap seorang laki-laki yang mengenakan
kemeja garis-garis berwarna hitam dan bertubuh tegap sambil mengelus-elus bahu
perempuan di sampingnya. “Idih, emangnya ini kampus tempat mesum apa! Dasar
laki-laki gak tau sopan santun!!” makiku dalam hati. Merasa diperhatikan,
laki-laki itu menatap mataku dengan tajam dan langsung menghampiriku.
“Sini kamu!” ia menyeret tanganku dengan paksa dan mengajakku keluar
kelas. Aku tak mau menatapnya, aku terus menundukkan kepala. “Heh!! Kamu ini
kenapa sih dari tadi bikin masalah aja sama aku!! Kamu naksir sama aku?!”
teriaknya dengan keras. “Amit-amit nih laki-laki, tampang dan badan boleh
keren, tapi kelakuan minus banget” aku tak langsung menjawab pertanyaannya. Aku
hanya sesekali memandangnya. “Owh, selain gak punya mata ternyata kamu ini gak
punya mulut buat bicara juga ya! Mungkin salah pilih jurusan juga kamu!!”
kesabaranku ada batasnya.
PLLAAKK!! Tanganku refleks
menampar pipinya. “Eh, kamu ini yang gak tau aturan dan gak punya sopan santun!
Tadi pagi waktu gak sengaja nabrak kamu, aku udah minta maaf ya! Aku tadi gak
sengaja liat kamu gara-gara kelakuanmu yang gak sopan. Memangnya ini tempat
dugem apa?! Seenaknya aja kamu mesum di ruang kuliah!” sontak aku melirik
kembali ke dalam kelas, sekarang semua orang yang ada di dalam kelas termasuk
dosen yang mengajar melihat tingkah kami berdua.
Aku-pun langsung meninggalkannya dan masuk ke dalam kelas lagi. Ia membuntutiku
dan langsung mengambil tasnya. “Pak, saya permisi pamit duluan. Permisi, Pak.”
pintanya pada dosen yang sedang mengajar. Lalu, ia pergi meninggalkan ruang
kelas dan perempuan itu. Aku pun langsung menghela nafas panjang, “Huuuhhhh..
ini hari pertama kebebasanku, malah aku jadi bahan tontonan dan dipermalukan di
depan semua mahasiswa di sini,” gerutuku. “Udalah Kirana, tenang aja. Kamu
bakalan jadi terkenal kok habis gini. Kamu kelihatan keren banget, pasti banyak
laki-laki yang ngajak kenalan sama kamu,” hibur Rea sambil menepuk pundakku.
Ternyata benar dugaan Rea, sekarang semua mahasiswa yang tidak pernah aku
kenal langsung mengerubungiku kayak artis saja. “Hei, kamu Kirana
Sumargoningrat kan? Kenalin aku Dito,” sapa seorang laki-laki yang punya senyum
semanis malaikat ini di depanku. “Iya, aku Kirana. Panggil aja Kira. Maaf ya,
teman-teman tadi aku membuat keributan,” teman-teman yang berada di depanku
hanya manggut-manggut saja. “Eh, gak usah minta maaf lagi. Tadi kamu keren
banget berani nampar Ryan anak seorang pengusaha kertas yang terkenal itu,”
ujar salah seorang perempuan yang mempunyai rambut agak curly-ini. WHAT?!! Apa dia bilang tadi? Ryan anak seorang pengusaha
kertas! Kalau tidak salah nama Ayahnya kan Bagas Prawiro dan Ibunya Tiara
Renata seorang artis dan model yang terkenal itu. “Mampus Kira, mampus! Kamu
barusan saja menampar seorang laki-laki yang mempunyai nama di jagad raya
ini!!” gumamku sendiri.
Tiba-tiba seorang perempuan berambut lurus dan panjang yang mengenakan
rok mini dan pakaian ketat menghampiriku. “Hei dasar perempuan tidak tahu diri
kamu ini! Lihat saja hidupmu tidak akan tenang, aku juga gak bisa memprediksi
hidupmu akan berapa lama lagi?! Itu karena kesalahan yang telah kamu buat
kepada Ryan Prawiro anak dari Tiara Renata!!” ungkap perempuan yang tadi duduk
di samping Ryan, sambil menyibakkan
rambutnya yang panjang terurai.
Badanku langsung lemas seketika, semua impian dan harapan untuk merasakan
jatuh cinta langsung pudar dan kelam. “Kira, udalah perkataan perempuan tadi
gak usah lah kamu dengarin! Nanti malah kamu kepikiran terus, Ra” ungkap Rea
yang dengan setia mau mengantarkanku sampai ke rumah.
***
Seminggu telah berlalu dan laki-laki itu sudah menganggap kejadian yang
pernah terjadi hanyalah angin lalu. Mungkin memang itu sifatnya, dia sangat
suka mendekati para perempuan yang ada di kampus ini atau dia itu kesepian ya.
Argh, masa bodoh. Ngapain juga mikirin laki-laki yang sombong dan tidak punya
sopan santun itu.
Seperti biasa, kegiatanku di malam minggu hanya nangkring di depan layar
televisi sambil meminum teh susu yang sangat manis dan membuatku bahagia.
Beginilah kehidupanku, aku seorang diri di rumah mewah ini. Kedua orangtuaku
sangat sibuk dan jarang sekali pulang rumah. Eh, aku tidak seorang diri, ada
Bibi yang selalu setia menemaniku juga. Daridulu yang selalu setia menemaniku
hanya buku, Bibi dan Rea. Tentunya Rea tidak selalu ada juga buatku, apalagi
dia sudah punya pacar. Jadi, setiap malam minggu aku hanya bisa merenungi
nasibku yang malang ini di rumah.
Sebenarnya aku punya banyak teman, tapi tidak satupun yang kupercayai.
Mereka semua hanya memanfaatkanku agar mendapatkan fasilitas dan kekayaanku
ini. Teman-teman yang awalnya kukenal baik hati dan suka jalan bersamaku,
ternyata mereka hanya memanfaatkanku untuk mendapatkan traktiran. Kecuali Rea,
Reandra Savitri adalah sahabatku yang paling bisa dipercaya dan diandalkan. Dia
selalu ada di saat apapun, waktu aku sakit, kesepian bahkan waktu aku
mendapatkan menstruasi pertama kalinya. Hanya Rea saja yang paling mengerti aku.
Bisa dibilang Rea itu perempuan yang sangat manis dan sedikit manja, banyak
laki-laki yang menyukainya. Rea juga sudah sering bergonta ganti pasangan.
Pasti ia salah seorang perempuan yang beruntung bisa merasakan cinta. Sedangkan
aku? Aku hanya membaca buku dan mengunjungi perpustakaan untuk mempe rdalam wawasan. Mau bagaimana lagi
kalau Papa sudah melarangku untuk pacaran? Percuma kan aku mempunyai rasa yang
bernama cinta itu kalau Papa tidak mengijinkanku. Jadi, aku menutup rapat pintu
hatiku sejak lama.
Hanya saja sejak hari pertama aku bertemu dengan Ryan, baru kali ini aku
merasakan debaran yang tak karuan saat menatapnya pertama kali. Tubuhnya tegap,
badannya proposional, alisnya lebat dan tatapannya sangat tajam. Dalam hitungan
detik aku menyukai tampangnya itu. Akan tetapi, itu semua langsung luntur
seketika tau sikapnya yang sok belagu itu. “Eh, kenapa sekarang aku
memikirkannya lagi, ya?” dadaku tiba-tiba berdebar tak karuan.
REA. Tiba-tiba aku ingin menghubungi sahabatku yang satu ini. Yah, ini kan
malam minggu. Artinya Rea tidak bisa diganggu gugat. Hari Sabtu adalah milik
Rea dan pacarnya. Aku harus bisa menyadari dan memaklumi itu.
“Non Kira, Non. Ada teman Non Kira yang nyariin di depan,” seru Bibi.
Hah? Teman Kira malam minggu berkunjung ke rumah? Siapa ya? Tanpa sadar aku
langsung membuka pintu dan betapa terkejutnya aku melihat sosok itu di depan
pagar sambil memamerkan senyumnya yang sangat lembut dan tatapan mata yang
tajam. Untuk beberapa menit aku hanya membisu dan menjadi patung yang diam tak
berkutik.
“Hei Kira, dari pertama aku ketemu sama kamu, kamu itu selalu aja
nampilin tampang bloon yang gak jelas gitu! Kamu itu manusia kan? Kamu seorang
perempuan kan?!! Hellooo Kirana Sumargoningrat!! Kamu masih hidup kan??” dia
pun mengguncang badanku.
“Apaan sih kamu itu! Selalu aja ngeselin!!” keluhku padanya. Dia hanya
menggelengkan kepala saja. “Kenapa reaksimu selalu seperti itu? Aku itu lagi
bicara sama kamu, eh kamunya malah diam saja. Tiba-tiba nyerocos dengan jutek
banget. Mau kamu itu apa, Kirana?” tanyanya sambil memandangku dekat sekali.
Sontak tanganku langsung mendorong badannya, “Hush, laki-laki mesum jangan
seenaknya aja ya deketin aku!! Memangnya aku kayak perempuan-perempuan yang di
kampus apa, yang gak berdaya kamu sentuh dan kamu dekatin seenak hati,” dia
hanya melirikku dan tertawa terbahak-bahak.
“Dasar perempuan yang gak laku, pantesan malam minggu di rumah aja!” ia
malah membalasku dengan gurauan yang sebenarnya menohok hatiku. Dekat aja
enggak, eh malah seenaknya sok bercandaan sama aku. Maunya laki-laki ini apa
sih?!
“Kamu itu ngapain ke rumahku?” tanpa sadar kita masih berbicara di depan
pagar. Aku tak menyuruhnya masuk, karena aku takut terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan. Apalagi lihat tingkahnya yang kurang sopan sama perempuan. “Hmm..
ya aku pengen tau aja, kamu itu sebenarnya perempuan dari planet mana, karena
tingkahmu itu gak kayak perempuan lainnya. Kan kamu tau sendiri kalau perempuan
lainnya itu selalu terpikat dengan pesona seoran Ryan Prawiro,” dengan PD-nya dia
memuju diri sendiri. “Hidih, pesonamu itu emang menyesatkan bukan memikat hati
perempuan,” aku masih jutek menanggapi Ryan yang berbicara dengan sok dan
sombong.
Tanpa terasa kita berbicara di depan pagar sudah sejam lebih. Kakiku
mulai terasa capek berdiri terus. Eh, tapi si Ryan kayaknya masih semangat 45
berdiri di depan pagar. Dia pun sadar kalau kakiku mulai capek. Seperti
kejadian pertama kali di kampus, dia langsung merasa kalau aku menatapnya.
“Kamu capek ya, Ra? Makanya kalau ada tamu itu ya diajak masuk gitu. Kan kita
bisa ngobrol-ngobrol sambil santai di dalam,” pintanya. “Enak aja kamu ini,
kamu kan laki-laki yang gak aku kenal. Masak aku langsung masukin kamu ke dalam
rumah. Lagian, di rumahku gak ada orangtua. Bisa-bisa gawat kalau aku ngajak
kamu ke dalam rumahku yang sepi. Tingkahmu itu kan gak bisa dipercaya!!”
cerocosku pada Ryan. Dia malah terbahak-bahak kalau aku sudah nyerocos panjang
lebar. “Ya sudah, yuk kita makan yuk!! Aku udah lapar nih. Ini juga udah jam 8
lewat. Kamu pasti belum makan kan?” tebaknya sendiri. Ini laki-laki emang
enggak tau sopan santun sama sekali, langsung main tarik tangan orang.
“Sebentar donk, Yan. Aku harus ganti baju dan pamitan sama Bibi. Aku juga belum
ijin Papa tau,” tanpa babibubebo dia
langsung menyeretku ke dalam mobil.
Sepanjang perjalanan bersama dengan Ryan di dalam mobil, dadaku
berdebar-debar terus. Kayak naik jetcoaster
gitu. Mungkin ini yang pernah dibilang Rea, ya? Kalau kamu suka sama
seseorang, nanti jantungmu kayak mau copot dan sesak nafas, lalu kamu akan
menatapnya terus-terusan. Wow!! Rea benar!! Tanpa sadar aku terus memandangi
Ryan. Seorang laki-laki pertama yang mengajakku keluar di malam minggu kali
ini. Dia memang sangat tampan, aku akui itu. Wajahnya mirip Tiara Renata, cuma
ini versi laki-lakinya. Kadang ia kelihatan sangat cool, kadang ia juga kelihatan sangat lembut. Tatapan matanya itu
yang bisa menunjukkannya.
“Kamu ngapain sih dari tadi ngeliatin aku terus?! Kamu mulai terpesona ya
sama wajahku yang kayak Aston Kutcher ini?” aku langsung menggelengkan kepala.
“Idih, Aston Kutcher. Jauh amat deh. Aku ngeliatin kamu, soalnya aku penasaran
kamu ini laki-laki dari planet mana sih? Kadang bisa judes kayak iblis, kadang
bisa perhatian kayak malaikat. Apalagi kamu kok tiba-tiba aja bisa nonggol di
rumahku? Padahal selama seminggu setelah kejadian itu, kamu gak pernah nyapa
aku sekali pun di kampus,” tanyaku penasaran sekaligus modus untuk ngakalin
bahwa aku melihatnya karena, wajahnya yang keren itu. “Dengar ya, aku itu dari
planet Mars dan aku laki-laki tertampan sejagad raya ini. Jadi, jangan salahkan
aku kalau kamu mulai terpesona dengan kegantenganku ini. Eh, seharus nya aku yang penasaran sama kamu, kamu itu
aneh banget. Kalau di kampus sok manis, eh kalau udah ketemu gini nyerocos gak
karuan. Cerewet banget!” dasar Ryan, selalu saja membanggakan dirinya sendiri.
Sebel aku. Aku langsung memalingkan wajah ke arah jendela. Tanpa sengaja, ia
langsung mengusap lembut kepalaku. “Jangan cemberut gitu donk, Kirana! Kalau
cemberut makin jelek deh!” deg deg deg
deg!! Mampus jantungku mau copot?! Aku harus ke rumah sakit segera!!
Aku sempat terkejut ketika mobil Ryan berhenti di sebuah warung makan
pinggir jalan. Aku pikir dia bakalan ngajak aku ke restoran ternama, karena
dari tampang Ryan dia sangat terlihat high
class. “Ayo, turun!” lagi-lagi Ryan membuat kejutan, ia membuka pintu mobil
dan menarik tanganku untuk segera keluar dari mobil. “Iya iya, sabar donk Yan.
Kamu kelaparan banget ya!” aku pun tertawa ketika melihat tampang Ryan yang kelaparan.
Ryan pun memesan bakmie goreng untuk kami berdua. Ia terlihat lahap
sekali menyantap makanannya. “Kamu suka banget ya makan di sini,” aku melirik
kearahnya yang sedang berkonsentrasi melahap bakmie hingga habis tak bersisa.
“Hah, afa afa? Hiya hiya” ia berkata-kata sambil menguyah makanan. “Kamu lucu
banget sih!” tanpa sadar aku melontarkan kalimat tersebut dan tersenyum. Ia pun
membalas senyumanku sambil melanjutkan makannya.
Ternyata Ryan lucu dan baik banget ya kalau tingkah dan perhatiannya kayak
malam ini. Dia itu penuh kejutan. Tidak seperti yang dikatakan teman-teman
kalau Ryan itu anak yang sangat nakal dan susah diatur. Aku penasaran dengan
pernyataan teman-teman tersebut, lalu tak sengaja aku bertanya padanya. “Yan,
kamu itu kenapa sih kadang keliatan jutek dan serem banget?” tanyaku. Ia
langsung terdiam dan menghela nafas. “Kamu mau tau, Ra?” sambil memainkan alis
matanya dengan menggoda dan tersenyum simpul padaku. “Argh.. jangan buat aku
jatuh cinta kepada kamu, Ryan!” omelku dalam hati. “Gini ya Kirana yang jayus
dan aneh sejagad raya ini. Aku itu malas kalau sok perhatian kepada mereka
semua, lagian gak ada yang merhatiin aku kok! Para perempuan genit itu
mendekatiku karena, mereka ingin tenar. Mereka kan tau kalau Papaku seorang
pengusaha ternama dan Mamaku seorang artis yang lagi naik daun. Makanya, aku
gak berani dekatin mereka lebih akrab lagi. Dulu juga aku sudah punya sahabat
yang dekat sekali, eh ternyata dia juga manfaatin aku. Mantanku juga gitu, dia
jadian dengan hanya ingin populer dan memanfaatkan kekayaanku. Selain itu ya
Ra, kedua orangtuaku juga jarang pulang ke rumah. Mereka pun memanjakanku
dengan berbagai fasilitas dan memberikanku kebebasan sebebas-bebasnya. Ya, jadi
begini ini aku sekarang,” curhatnya dengan serius padaku.
Aku tidak pernah menyangka bahwa,
seorang Ryan Prawiro ini juga mempunyai kisah hidup yang hampir sama denganku.
Kedua orangtuaku juga jarang mencurahkan perhatiannya pada anaknya yang semata
wayang ini. Untungnya, kedua orangtuaku selalu mengawasi dan sangat protektif padaku. Mereka ingin aku
sukses dan bisa mandiri di kemudian hari tanpa embel-embel generasi keluarga Sumargoningrat ini. “Hmm.. kalau
dipikir-pikir, kita itu punya kehidupan yang sama, Yan. Papa dan Mamaku jarang
pulang, aku sendirian di rumah sama Bibi. Tidak punya saudara satu pun.
Sedangkan kamu masih punya saudara yang bisa diajak cerita. Hanya saja Mama dan
Papaku selalu mengawasiku, mulai dari pelajaran dan hobiku. Makanya, dari aku
sekolah SD hingga SMA aku gak pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Mereka
baru mengijinkanku, ketika aku kuliah ini. Tentunya hanya sebatas jatuh cinta
dan pacaran yang biasa saja,” tatapan mata Ryan memancarkan kesedihan dan
kesepian. Dengan refleks, aku menepuk bahunya dan mengusap dengan lembut. “
Hei, masih ada aku di sini yang bisa jadi sahabatmu, Ryan Prawiro” seruku
pada Ryan yang masih tertunduk lesu. Tiba-tiba Ryan langsung menatapku dan
memegang erat tanganku. Genggaman tangan Ryan begitu erat, hingga aku bisa
merasakan detak jantungnya dan kehangatan tangannya yang begitu kuat. “Jadi,
ini toh yang namanya cinta,” aku
hanya manggut-manggut sendiri.
“Kirana, makasih ya udah mau nemenin aku makan walaupun di pinggir jalan.
Ternyata kamu bukan tipe perempuan yang sukanya makan-makanan mewah di
restoran. Selain itu aku lega, karena aku bisa kenal dan cerita ke kamu tentang
masalahku. Sekali lagi makasih ya,” ia menarik kedua tanganku dan aku bisa
merasakan kedua tangannya memelukku dengan erat. Hangat dan nyaman sekali
rasanya. Tiba-tiba aku melepaskan pelukan itu, Ryan hanya tertawa simpul dan
mengusap lembut kepalaku. “Sampai ketemu besok ya, Kirana” aku pun membalasnya
dengan anggukan dan senyuman.
***
Sedari tadi hatiku berdegup dengan kencang dan pikiranku melayang
kemana-mana. Seakan-akan ada banyak bunga yang bertaburan di sekelilingku. Aku
senang, ya Tuhan. Terimakasih atas rasa yang dinamakan cinta ini. “Non Kira,
ayo sarapan Non,” Bibi membuyarkan lamunku. “Hehehe.. iya Bi. Kira habis gini
sarapan kok, langsung Kira habiskan semua masakan Bibi hari ini,” jawabku
dengan penuh kegirangan. “Non Kira pasti lagi jatuh cinta ya sama laki-laki
yang tadi malam jemput Non Kira? Non, Bibi cuma bisa nitip pesan ke Non Kirana,
kalau kita lagi jatuh cinta itu kita harus siap untuk jatuh dan mencinta. Jadi,
Non Kira harus siap-siap untuk jatuh, meskipun itu menyakitkan. Non Kira harus
kuat dan tabah menghadapinya ya,” pesan Bibi padaku. “Beres Bi. Kirana bakal
hati-hati untuk jatuh cinta agar tidak jatuh, tapi mencinta saja hingga terbang
bebas ke angkasa,” Bibi yang mendengarkan perkataanku langsung menggelengkan
kepalanya. “Dasar manusia kalau sudah jatuh cinta ya gitu itu, lupa akan
segalanya dan logika,” Bibi mengutarakan sesuatu. “Apa Bi? Kira gak dengar Bi”
pintaku pada Bibi untuk mengulang perkataannya. “Ah, gak apa-apa Non Kira. Ayo
sudah mau jam 8. Bukan-nya Non Kira masuk kuliah jam 9?!!” Bibipun menyadarkan
lamunku.
Bab 1
BalasHapus